0

Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Ayah, di Bahumu Aku Bersandar”

Posted by rhisma hilda on 21.41 in
Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Ayah, di Bahumu Aku Bersandar”

Pada lelaki mana lagi kah seorang anak dapat bersandar dengan tenang jika bukan pada ayahnya sendiri? Yaap, judul antologi puisi ini menggambarkan betapa kokoh dan tangguhnya seorang ayah dalam menghidupi keluarganya. Tanpa mengenal lelah ia rela bertaruh nyawa untuk mendapatkan sesuap nasi bagi keluarganya. Sosok ayah sangat berarti, tanpanya keluarga terasa tidak lengkap. Mungkin sosok ayah terlihat kaku dan menakutkan, tapi seorang ayah adalah lelaki pertama yang dicintai oleh putrinya. Seorang lelaki yang menawarkan kehangatan, kenyamanan, keamanan, bahkan mungkin sosoknya lah yang menjadi inspirasi untuk mencari calon suami putrinya kelak. Who knows?

Dalam buku ini puisi saya berjudul ‘Lelaki yang Menyayangiku dalam Diam’ dan Surat Cinta untuk Ayah’ berada di halaman 120-123. Puisi ini sengaja saya tulis untuk menggambarkan betapa berartinya seorang ayah dalam kehidupan saya. Selain ibu, sosoknya lah yang menjadi pelengkap cerita di dalam rumah. Menjadi anak dari seorang tentara membuat saya bangga dan mengerti apa arti sebuah perjuangan, pengorbanan dan keikhlasan. Perjuangan dan pengorbanan yang selalu disertai rasa keikhlasan. Jika mereka tak menghargai perjuangan dan pengorbananmu di masa lalu maupun saat ini, ketahuilah di sini, di tempat ini ada seorang anak yang bangga menyebut dan memperkenalkanmu pada dunia.


Puisi pertama:
Lelaki yang Menyayangiku dalam Diam
Depok, 13 November 2015


Wajah tegas penuh wibawanya selalu terlihat hangat
Walau tak pernah terucap kata manis tuk ungkapkan rasa
Tetapi ku tahu bahwa ia lah lelaki pertama yang menyayangiku
Lelaki yang selalu melindungi dan mencintaiku

Ia bukan seorang penyair yang terampil bermain kata
Ia bukan juga seorang pengumbar janji yang hanya memberi harap
Ia adalah seorang bermental baja dan berhati ksatria
Ya, dia lah ayahku sang pelindung bangsa

Aku mengerti bahwa tugasnyalah yang membentuk karakternya
Tegas, disiplin nan berwibawa
Namun, di balik itu semua terselip sebuah perhatian
Perhatian dan kekhawatiran yang sangat besar tuk keluarga

Ayah, dia lah sosok pelindung dan penyayang yang setia
Tak pernah ia lelah menyayangiku meski hanya terpendam dalam hati
Ia tak pernah ungkapkan bukan berarti tak merasakan
Ia hanya tak tahu apa yang harus dikatakan

Ayah, lelaki yang diam-diam mencemburuiku
Lelaki yang mengkhawatirkanku dalam diam
Ayah, ketahuilah bahwa tak kan pernah ada lelaki yang menggantikanmu
Dan ketahuilah bahwa engkau adalah lelaki pertama yang kusayangi dan akan tetap kusayangi


Puisi kedua:
Surat Cinta untuk Ayah
Depok, 9 November 2015


Sosok tegas nan berwibawa itu kini tengah berperang
Berperang antara keluarga dan profesionalismenya
Ia tegarkan hati dan berusaha tuk cepat kembali ke pelukan
Dia, yang selama ini ku panggil ayah

Dengan gagahnya ia langkahkan kaki tuk bela Ibu Pertiwi
Demi Ibu Pertiwi ia rela korbankan waktu berharganya
Waktu demi waktu yang ia habiskan tanpa belai lembut keluarga
Sungguh, aku tak pernah menyesal memilikinya

Ayah, ku tahu dalam diamnya terdapat rasa sayang tulus
Dia yang dalam diamnya tersimpan rasa cinta yang dalam
Dia yang dalam doanya terus menyebut nama kami
Dia yang dalam hatinya tercurah sebingkai perhatian

Aku tahu, ia tak pandai tuk ungkapkan segala rasa
Aku pun tahu bahwa dia diam-diam mengkhawatirkan kami disini
Kami yang selalu menjadi tempat ia kembali setelah berperang
Ayah, tanpa kata yang kau ucap aku mengerti semua risaumu

Ayah, mungkin kau hanya terjebak dalam raga yang kokoh nan tangguh itu
Tapi aku tahu jika kau pun dapat menangis dan mencinta
Ayah, tanpa kau berkata pun aku sudah merasakan besarnya cintamu
Dan ku harap Ayah pun merasakan besarnya cintaku untukmu..




0

Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Sajak-Sajak Anak Negeri, Indonesia Bersajak #1”

Posted by rhisma hilda on 21.20 in
Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Sajak-Sajak Anak Negeri, Indonesia Bersajak #1”

Antologi puisi ini terbit pada Januari tahun 2016 yang diterbitkan oleh Penerbit Rumah Kita. Puisi yang masuk di dalam buku ini berjudul ‘Getar Cinta dari Pelosok Negeri’.

Getar Cinta Dari Pelosok Negeri
Depok, 8 November 2015


Kaki-kaki mungil melangkah riang tanpa beban
Walau hanya beralaskan tanah dan beratap langit
Tempat itu tetap menjadi kebanggaan mereka
Ya, mereka anak pelosok negeri yang tak pernah berhenti bermimpi

Mereka gantungkan impian di setiap langkah mungilnya
Mereka gantungkan harapan di setiap tawanya
Mereka tak pernah mengeluh karena berada jauh dari sang ibu
Ibu yang berada di tengah hiruk pikuk keramaian kota tanpa henti

Bagi sebagian orang berada di tengah keramaian sang ibu adalah impian
Impian tuk mengadu nasib dan berebut belas kasih sesamanya
Namun bagi mereka ibu bukan hanya impian tetapi cinta
Mereka meletakkan cinta dalam setiap pengharapan pada ibu

Walau mereka tau bahwa sang ibu tak kan pernah merasakan cinta mereka
Walau sang ibu tak pernah mendengar dan melihat jerit mereka
Tetapi mereka tetap menanam cinta pada sang ibu
Menjadi bagian dari sang ibu meski hanya dalam sisi tergelap

Ibu, kini kau berada diantara bangunan besi nan megah
Berada jauh dari gapaian tangan mungil mereka
Tapi cobalah kau rasakan getar cinta dari hati mereka
Getar cinta persembahan dari mereka anak pelosok negerimu




Ini penampakan ebook-nya..




0

Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Angin Yang Menari di Kepala”

Posted by rhisma hilda on 21.17 in
Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Angin Yang Menari di Kepala”

Buku ini berisi puisi-puisi dari 65 penulis nusantara yang diterbitkan oleh FAM Publishing pada Desember tahun 2015. Dalam buku ini terdapat dua judul puisi ciptaan saya yaitu ‘Sahabat’ dan 'Sahabat Penuh Warna’ yang bertengger di halaman 222-225. Puisi-puisi ini saya buat untuk sahabat-sahabat saya. Puisi sahabat penuh warna ini pernah dibacakan oleh salah satu teman saya saat acara value 2012, yaitu acara perpisahan dan wisuda lokal di jurusan saya.


Puisi pertama:
Sahabat
Depok, 29 Agustus 2015

Sahabat..
Kurindukan keceriaan saatku bersamamu
Kurindukan kasih sayang tulus darimu
Saat kita tertawa bersama tuk segala kisah
Dan mulai menatap masa depan dengan keteguhan hati

Sahabat, apakah kau masih mengingatku?
Mengingat kala kita melangkahkan kaki bersama menuju gerbang kesuksesan
Tuk menggapai segala cita dan cinta yang terukir di masa lalu
Aku ingin sekali bertemu dan bertukar cerita denganmu

Sebingkai perjalanan kita terdahulu
Masih rapih menunggumu tuk kembali datang dan bercerita
Ya, bercerita apapun suasana hatimu
Denganmu lah ku tak pernah ragu tuk ungkap jati diri
Denganku pula lah kamu merasa bebas menjadi dirimu sendiri

Kamu, sahabatku..
Ya, kini mungkin kita memang telah terpisah tuk beberapa waktu
Namun, aku yakin kelak kesuksesan kan mengantarkan kita tuk bertemu kembali
Kembali menjadi sahabat yang tak terpisahkan lagi


Puisi kedua:
Sahabat Penuh Warna
Depok, 26 Agustus 2015

Langkah kaki yang menjajari langkahku
Genggaman erat yang menggenggam jemari tanganku
Seakan sebuah kekuatan tuk bangkitkan semangat

Senyum dan tawa yang terlukis di bibirnya
Membuatkan bersemangat tuk bangkit dan berdiri
Bahu lemah nan lembut yang kokoh kepunyaannya
Membantuku menahan beratnya beban yang kupikul

Ya, dia yang tak pernah mengeluh
Dia yang selalu setia membantuku
Mengusir jenuh dan penat yang selalu terlintas di benakku

Dia, yang selalu mengingatkan
Dia yang selalu mengajakku tuk lebih baik
Dia pula yang siap menjadi tempat pengaduan sementara

Walaupun dia bukanlah keluargaku
Namun, ia sudah menjadi bagian dari keluargaku
Menjadi bagian dari hidupku yang terindah
Ya, dialah sahabatku

Sahabat yang siap menegur saat ku buat kesalahan
Sahabat yang memberiku saran saat aku membutuhkan
Sahabat yang selalu siap menggenggam kala aku terjatuh

Terima kasih sahabat
Karena telah membuat hidupku penuh warna




0

Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Sajak Untuk Ibu Tercinta”

Posted by rhisma hilda on 21.03 in
Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Sajak Untuk Ibu Tercinta”

Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Rumah Kita pada November tahun 2015. Sajak untuk ibu tercinta ini dipersembahkan untuk para ibu di Indonesia. Di dalam buku antologi puisi ini, satu judul puisi saya yang tercetak di halaman 17 yang berjudul ‘Bundaku’. Puisi berjudul bundaku ini saya persembahkan untuk ibu saya yang sangat luar biasa. 

Bundaku
Depok, 29 Agustus 2015

Dahulu ia mengandungku sembilan bulan lamanya
Berusaha tak terbebani akan kehadiranku yang menyulitkannya bergerak
Membawaku kemana pun kakinya melangkah
Dengan gembira ia kenalkan dengan dunia

Hari demi hari ia lalui tanpa mengeluh sedetikpun
Ia relakan waktu tidurnya tuk meredam tangisanku
Ia relakan waktu santainya tuk menemaniku bermain
Tuk mengajariku mengenal dan mengerti dunia

Tangan halusnya kini beranjak kasar dan kian mengeriput
Tangan indahnya ia relakan pergi demi mengurusku
Membantuku tumbuh dan berkembang tuk hadapi dunia
Dunia yang kelak kan ku hadapi sendiri

Kini tubuh rentanya menjadi saksi atas ikhlasnya hidup
Arti kehidupan yang ia ajarkan padaku dahulu
Bunda.. sebaris nama dengan berjuta makna
Karena dirinya lah aku hadir dan mampu menggenggam dunia

Bunda..
Dirimulah alasanku kini dapat berdiri tegak
Tegar menghadapi perihnya dunia
Karena dirimulah aku dapat terbang menari di atas dunia

Terima kasih Tuhan
Karena engkau telah mengizinkanku lahir dari rahimnya
Tumbuh atas kasih sayang tulus dan cinta darinya
Terima kasih Bunda telah menjadi Ibu terhebat untuk aku, Anakmu..


ini penampakan bukunya..


0

Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Semusim Kemarau”

Posted by rhisma hilda on 20.46 in
Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Semusim Kemarau”

Antologi puisi ini berisi puisi favorit pilihan Oase Pustaka tahun 2015 Jilid II. Buku ini terbit pada November tahun 2015 yang diterbitkan oleh Oase Pustaka. Semusim kemarau ini berisi puisi dari 61 penulis nusantara. Diantaranya terdapat 3 puisi saya yang ada di halaman 31-37 yang berjudul ‘Gubuk Mungil dan Tangan-Tangan Surga’ ; ‘Kita Dalam Doa’ ; dan ‘Cahaya Bangsa’.

Puisi pertama:

Gubuk Mungil dan Tangan-Tangan Surga
Depok, 16 Agustus 2015


Gubuk mungil nan reyot ini tempatku menimba segala ilmu
Gubuk mungil ini adalah satu-satunya tempat untukku memadu kasih
Memadu kasih sayang dengan semua yang tercinta

Dimana aku dapat mencurahkan segala rasa kepadanya
Di sinilah, di gubuk ini aku dapatkan pengalaman berharga
Pengalaman tumbuh dan berkembang atas tangan-tangan surga

Tangan-tangan malaikat yang mampu membuatku kini kokoh berdiri sempurna
Ya, memang aku tak seberuntung mereka yang hidup di istana megah
Aku pun tak seberuntung mereka yang dapat menikmati hidup serba mewah

Tapi, tunggu dulu..
Apakah mereka mendapatkan kebahagiaan yang kudapatkan?
Apakah mereka mendapat sentuhan para malaikat surga?
Kurasa mereka tak mendapatkannya

Aku memang orang biasa yang besar di dalam gubuk mungil
Aku pun memang orang biasa yang menimba ilmu dari seonggok jendela kecil
Tapi aku orang biasa yang lahir dari keluarga luar biasa
Keluarga yang mampu menghadirkan cinta dan kasih dalam setiap langkahku

Gubuk kecil ini kelak kan menjadi istana besar di kemudian hari
Ya, itulah harapan besar dari seorang biasa sepertiku
Percayalah, saat tangan-tangan surga membelaiku dengan cinta yang tulus
Kelak aku akan menjadi seorang yang besar nan sukses

Ketahuilah tangan-tangan surga itu adalah tangan-tangan Ibu dan Bapak
Yang senantiasa berdoa dan menggenggam jemari mungil kepunyaanku
Ingatlah walau dalam sebuah gubuk mungil
Aku dapat menjadi seorang yang besar karena nya

Saat beranjak dewasa, aku kan melangkah keluar dari gubuk mungil itu
Tapi saat aku berhasil nanti, gubuk mungil itu lah tujuan utama ku
Gubuk mungil yang berisi Ibu dan Bapakku
Karena apapun mimpi besar yang terukir
Hanya satu tujuanku kembali yaitu gubuk mungil..


Puisi kedua:
Kita Dalam Doa
Depok, 19 September 2015

Kita bertemu dalam canda dan tawa
Di sebuah ruang sempit penuh sesak
Sebuah ruang terpencil di sudut bangunan
Riuh suara teriak saling berkenalan

Perlahan kau julurkan tangan tuk memulai pembicaraan
Mencoba mengenal satu sama lainnya
Senyum hangat terlukis kala tangan saling berjabat
Erat dan kian bersahabat

Hari kian berlalu hingga kini senja menjelang
Saat tuk berpisah dan kembali pada roda kebiasaan
Kita melangkah meninggalkan ruang hampa di belakang
Berjalan menuju gubuk tersayang

Kini ku tak sabar tuk menyongsong mentari bercahaya
Lebih tepatnya tak sabar tuk memandang senyumanmu
Senyuman yang mencuri hati sejak kali pertama
Ya, sepertinya ku jatuh cinta

Hari demi hari berlalu
Kian menambah rasa kagum satu dengan lainnya
Mendalamkan rasa saling mengenal dan memahami
Hingga akhirnya tumbuhlah benih cinta diantara kita

Kita.. sebuah nama penuh makna yang dalam
Namun, kita tak kunjung menjadi kita yang sesungguhnya
Keegoan telah merusak kata kita
Dan menghentikan segala rasa yang dulu terlihat nyata

Kini, di tempat ini kali pertama kita bertemu kembali
Berusaha merajut kembali kata kita yang dahulu
Berusaha menyatukan perasaan yang terpendam di dasar
Namun, rasa itu hanya mengambang di tengah hati

Tak muncul tak pula tenggelam
Mengambang di tengah-tengah
Menunggu saat yang tepat tuk muncul di permukaan
Atau justru tenggelam di dasar kembali

Aku disini hanya dapat memandangmu dari kejauhan
Berharap kau melirik walau sedetik
Menunggumu dan berdoa tuk kesuksesanmu
Sukses yang kini telah kau pintal di atas kepayahanmu

Aku percaya waktu kan menjawab atas segala penantian
Entah menyatukan atau bahkan memisahkan kita kembali
Doa yang ku panjatkan mungkin kan menyentuhmu nanti
Dan mungkin saja kita kembali menjadi kita

Ya, kita yang dahulu tengah memperbaiki diri kini
Memantaskan diri satu sama lainnya
Jika kita menjadi kita kembali
Itulah jawaban atas penantian penuh harap terdahulu

Percayalah suatu saat nanti kita kan mendapat jawaban
Doa yang bersambut atau doa yang menegarkan
Aku percaya jika kita tak bersatu karena doa
Mungkin kita kan bersatu karena kehendakNya

Dan jika aku tak bersama dengan orang yang kusebut dalam doa
Mungkin aku kan bersama dengan orang yang menyebutku dalam doanya
Percayalah doa itu mengudara menyentuh langit
Dan percayalah rencanaNya adalah rencana yang paling indah


Puisi ketiga:
Cahaya Bangsa
Depok, 26 Agustus 2015

Kalian bagaikan cahaya terang nan menyilaukan
Cahaya yang diharapkan para penikmat kegelapan saat ini
Ya, kalian lah para pemuda pemudi
Yang entah kapan akan mengisi cahaya pada gelapnya dunia kini
 Kami bergantung harapan pada kalian

Pada kalian lah kami titipkan air dan udara
Yang kelak kan dinikmati para penerus bangsa
Ya, di tangan kalian lah kami genggamkan seikat harapan
Yang selalu akan kalian genggam hingga asa terhembus

Mulai lah rapatkan barisan
Barisan kokoh nan bermental baja
Hingga tiba saatnya perang pikiran kan dimulai
Kerahkan lah segala tenaga dan pikiran terbaikmu
Agar kelak kan dapatkan kesuksesan dan kemenangan abadi

Hei kalian para pemuda pemudi bangsa
Ciptakan lah cahaya terang bagi kami para penikmat kegelapan kini
Hei kalian para pemuda pemudi bangsa
Kerahkan lah mimpi tertinggi tuk raih segala asa
Ciptakan lah dunia yang mampu membangun dunia tertinggi
Hingga kami dapat tersenyum memandang kalian dan beristirahat dengan tenang




0

Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Sang Petani”

Posted by rhisma hilda on 20.16 in
Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Sang Petani”

Buku antologi puisi ini buah dari event lomba cipta puisi bertemakan “petani” yang diadakan oleh Penerbit Genom sebagai bentuk apresiasi terhadap Hari Tani yang diperingati setiap tanggal 24 September. Buku ini berisi puisi-puisi dari 200 penulis nusantara. Puisi saya yang berhasil masuk di dalam buku ini berjudul ‘Semaian Keikhlasan’.

Semaian Keikhlasan
Depok, 20 September 2015

Matahari masih bersembunyi di balik gunung-gunung menjulang
Udara dingin pun masih erat memeluk tubuh mungilnya
Langkah demi langkah kecil merobek heningnya kegelapan pagi
Mengantarnya menuju tanah lapang nan berair di pelosok desa

Kini matahari mulai berdiri dan meninggi
Menyinari sebagian langit yang masih diselimuti gelap
Gubuk kecil dan caping di ujung tanah lapang telah bersaksi atas keikhlasannya
Tuk menuntunnya perlahan tapi pasti menapak di pinggir kerukan tanah

Menyemai setiap lembar kehidupan
Bergerak ke kanan dan ke kiri dengan lincahnya
Hingga sepetak tanah telah selesai ia lukis dengan indah
Bulir peluh dan keringat yang mengalir tak menyurutkan semangatnya

Hari demi hari kasih sayangnya ia curahkan dengan cuma-cuma
Tak berharap kan dapat balas yang setara
Ia tak pernah mengeluh walau sesaat
Ia tak pernah pergi dan meninggalkan

Kerutan di tubuhnya tak sedikit pun memudarkan semangatnya tuk menyemaiku
Tanah yang kotor tak pula membuatnya berpaling dan meninggalkanku
Hingga kini aku tumbuh berisi dan meninggi
Dan tibalah saat panen raya tuk memberinya sedikit waktu tuk beristirahat

Aku.. adalah buah kehidupan yang ia semai
Yang dirawatnya dengan sepenuh hati
Hingga kini ku tumbuh dan bermanfaat bagi orang banyak
Padi, ya itulah aku..




0

Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Dua Menit Satu Detik”

Posted by rhisma hilda on 20.16 in
Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Dua Menit Satu Detik”

Di buku antologi puisi ini, ada dua puisi yang mejeng di halaman 100-103. Judulnya ‘Kamu dan Senyumanmu’ dan Untukmu, yang Terindah’. Dua puisi ini bertema cinta, yang saya sendiri pun lupa didedikasikan untuk siapa ahaha. Buku antologi puisi ini terbit di Bulan September tahun 2015.

Puisi pertama:
Kamu dan Senyumanmu


Kamu yang di sana..
Yang selalu menari di dalam pikiranku
Kamu yang selalu mampu membuatku tersenyum
Walaupun hanya sekedar menghadirkan senyummu di ingatan ini

Kamu yang selalu mampu menggetarkan hati ini saat memandangimu dari kejauhan
Kamu yang selalu menyemangatiku kala aku terjatuh

Saat aku ragu tuk melangkah maju, saat itulah hadirmu meyakinkanku
Saat aku gelisah dalam tawa, saat itulah kamu datang membuat tawa itu nyata
Saat aku tersesat dalam bimbangku, saat itulah kamu datang menuntunku

Ya, mungkin kamu hanya suatu khayalan indah dalam pikiranku
Tapi tahukah kamu..
Setiap saat memandang senyum indah di wajahmu
Aku selalu berdoa agar senyuman itu tak pernah hilang dari wajahmu

Kamu adalah kesempurnaan dari diriku
Kelima jariku ini diciptakan untuk melengkapi rongga di kelima jarimu
Dan itulah salah satu kesempurnaan yang Tuhan ciptakan untuk kita

Memandangmu dari balik punggungmu saja membuatku tersenyum
Apalagi memandangmu tersenyum ke arahku
Sungguh suatu kesempurnaan bagiku..

Depok, 8 Februari 2014



Puisi keduanya: 

Untukmu, yang Terindah



Saat itu saat pertama aku mengenalmu
Air dan raut wajah pucat pasi yang melatari kita
Kulihat wajah tampanmu sesekali
Terasa sangat indah dan mengesankan

Berkali-kali kutepiskan wajahmu saat kau muncul di pikiranku
Namun, kau tak pernah bisa pergi
Dibalik sikap dinginmu
Aku percaya, ada seukir cinta dan sayang dalam dirimu

Dan sampai kapanpun aku tak kan pernah melepaskannya
Membiarkan ia pergi begitu saja
Karena kini aku sadari
Aku tak kan pernah bisa jauh dari sikap dinginmu
Dan terutama semua perhatianmu

Aku tak perduli seberapa besar kenangan itu
Yang aku tahu, kini kamu kepunyaanku
Meski aku hanya mampu berandai-andai
Atau bahkan hanya dalam sebait mimpi

Aku akan terus mencoba tuk berada di dalamnya
Aku percaya, barang secuil kisah bahagia
Akan mampu menghapus sebongkah kisah pahitmu

Dan aku mau
Akulah yang menuliskan kisah bahagia itu
Bila saja kamu izinkan aku
Tuk masuki kehidupanmu lebih dalam lagi


Jakarta, 1 September 2013



Ini penampakan bukunya..



0

Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Cahaya Keluarga”

Posted by rhisma hilda on 19.26 in
Puisi dalam buku antologi puisi berjudul “Cahaya Keluarga”

Salah satu puisi yang berhasil masuk di buku antologi puisi terbitan tahun 2015 berjudul ‘Keluarga Terhebatku’. Biarpun hanya sebatas kontributor, tapi inilah awal mulanya menemukan sebuah keberanian yang sempat terkekang dulu. Mulai suka nulis sejak SD, dulunya sih sekedar iseng ngisi waktu luang dan kebetulan emang suka banget nulis. Tapi lama-kelamaan jadi kebiasaan. Kadang cuma liat satu objek aja udah mulai tuh kata-kata muter di kepala. Kalau udah begitu, biasanya kertas atau hape jadi amunisi paling penting.

Puisi ini sebenernya puisi lama yang mungkin cukup berdebu. Ahaha.. karena saking legend-nya ini puisi. Awalnya iseng kirim puisi ini, tapi ternyata alhamdulillah rejeki bisa ikutan duduk manis di buku antologi puisi ini.

Nah, ini nih puisinya. Diharap maklum ya, masih pemula.. hehehe..


Keluarga Terhebatku


Keluarga adalah sahabat yang terdekat untukku
Sahabat yang selalu ada di setiap waktuku
Mereka hadir untuk menemaniku tanpa rasa lelah
Menemani tuk lalui hari demi hari

Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik
Itulah keluarga kecil yang kumiliki
Mereka adalah satu-satunya harta terindah yang kumiliki
Mereka pun adalah jiwa dari hidupku
Tanpa mereka hidupku takkan berarti

Ayah...
Ia yang selalu memberiku nafkah dan perlindungan disetiap waktu
Tanpa mengenal lelah ia selalu bekerja keras untuk kami keluarganya

Ibu..
Ia yang selalu merawat dan membimbingku
Tanpa mengeluh ia selalu membelaiku dengan tangan lembutnya
Selalu berusaha membimbingku menjadi wanita yang tegar dan mandiri

Kakak dan Adikku..
Mereka yang selalu menjadi pendengar setiaku
Mereka yang selalu berbagi kasih denganku
Mereka yang selalu menginginkan yang terbaik untukku

Ayah, Ibu..
Mafkanlah aku bila aku selalu menyakiti hati kalian
Dulu, tanpa lelah kalian selalu memberi apapun untuk kebaikanku
Tanpa lelah pula kini aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk kalian

Ayah, Ibu..
Terima kasih karena kalian telah merawat dan membimbingku
Terima kasih karena kalian telah memberiku dua saudara yang begitu menyayangiku
Dan terima kasih telah menjadi orangtua terhebat untuk kami anak-anakmu..


Jakarta, 13 April 2008


Ini penampakan bukunya 






Copyright © 2009 Coretan Kertas.. All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive | Distributed by Deluxe Templates